Tokoh  

Harmonisasi ala Lasem

Harmonisasi ala Lasem“Saya ini lebih Jawa daripada istri saya.” Sepenggal kalimat pendek tersebut meluncur dari bibir Pak Sigit Witjaksono, seorang pria ramah dan berkharisma yang saya jumpai dalam sebuah kunjungan singkat ke Lasem, pertengahan Maret lalu. Pak Sigit kemudian memamerkan kotak berisi koleksi VCD dan DVD wayang kulit miliknya. Koleksinya sangat lengkap, terutama untuk ukuran orang Jawa seperti saya yang kurang akrab dengan pertunjukan wayang kulit. Ada Ki Anom Suroto, Ki Manteb, Ki Narto Sabdo, Ki Enthus Susmono dan dalang-dalang kondang lainnya.

“Saya paling  suka dengan Bayu Aji, anaknya Anom Suroto. Sabetannya mantap sekali. Dulu setiap malam Minggu saya sering menyempatkan nonton pertunjukan wayang kulit. Beberapa kali saya juga sempat nonton pertunjungan wayang orang di Taman Sriwedari Solo. Kalau malam saya juga suka mendengarkan siaran wayang kulit di radio. Tapi nyetelnya gak berani keras-keras, soalnya istri saya tidak suka wayang. Makanya saya tadi bilang, saya ini malah lebih Jawa daripada istri saya,”  urainya.

Saya menyimak dengan seksama setiap penggal cerita Pak Sigit dalam percakapan di beranda rumahnya yang klasik. Kami tak cuma ngobrol berdua, ada juga Nia, seorang mahasiswi UGM yang tengah melakukan penelitian di Lasem. Sesekali terselip parikan-parikan Jawa dalam cerita Pak Sigit. Dalam hati saya merasa kagum sekaligus malu. Bagaimana tidak, kisah-kisah wayang dan parikan Jawa itu meluncur dari seorang pria Tionghoa yang tak mempunyai darah Jawa dalam tubuhnya. Saya yang asli Jawa pun kalah. Pak Sigit adalah salah seorang sesepuh Tionghoa yang disegani di Lasem. Usianya sudah senja, menginjak 84 tahun. Pendengarannya pun sudah tak terlalu tajam. Namun, semangatnya belum meredup. Wajahnya selalu berbinar saat mengisahkan lika-liku perjalanan hidupnya.

Saat ini Pak Sigit menghabiskan hari tua di Lasem bersama istri tercintanya seorang wanita berdarah Jawa yang masih cantik di usianya yang sudah senja, Bu Marpat. Mereka adalah salah satu perajin batik ternama di kota kecil yang masuk wilayah Rembang itu. Pernikahan beda etnis tersebut melahirkan tiga putri dan seorang putra. Keempat buah hati dan 10 cucu mereka semuanya tinggal di luar Lasem. Hari-hari Pak Sigit dan Bu Marpat pun dihabiskan untuk mengurus usaha batik mereka.

Tak seperti Pak Sigit yang sangat terbuka, Bu Marpat cenderung tertutup dan kurang nyaman saat diajak bercengkerama. Beliau enggan bercerita banyak ketika ditanyai Nia tentang awal perkenalannya dengan Pak Sigit dan sikap keluarganya di awal pernikahan mereka. Jawabannya pendek-pendek. Beliau kemudian memilih undur diri dan menyibukkan diri di dapur. Menurut Pak Sigit, sejak dulu Bu Marpat memang pemalu. Tapi justru itulah yang membuat Pak Sigit jatuh cinta.

Kisah cinta dua sejoli beda etnis itu mekar di Kota Pahlawan Surabaya. Semenjak lulus SMA, Pak Sigit yang asli Lasem memang merantau ke Surabaya untuk menuntut ilmu di Universitas Airlangga. Kos-kosan Pak Sigit hanya berjarak enam rumah dari kediaman Bu Marpat, di Jalan Diponegoro Surabaya. Seperti kata pepatah “Witing tresno jalaran seko kulino,”. Pak Sigit akhirnya jatuh hati dengan bidan yang berusia 13 tahun di bawahnya yang setiap hari lewat di depan kos-kosannya. Namun, ketika dua sejoli itu berniat mengikatkan diri dalam janji pernikahan, cobaan pun datang. Perbedaan jadi penghalang. Keluarga Bu Marpat yang masih keturunan priyayi Jawa menentang keras hubungan beda etnis tersebut. Alhasil, tak ada satu pun keluarga Bu Marpat yang datang ke pernikahan mereka pada tahun 1961. Saat itu Pak Sigit berusia 33 tahun, sedangkan Bu Marpat baru 20 tahun. Delapan tahun berselang, Pak Sigit dan Bu Marpat pindah dan menetap ke Lasem hingga sekarang. Di tempat itulah mereka menemukan ketentraman, di mana orang Jawa dan keturunan Tionghoa bisa hidup berdampingan dengan damai. Kebahagiaan mereka makin lengkap karena restu orangtua Bu Marpat akhirnya datang seiring berjalannya waktu. Cinta memang selalu menemukan jalannya. Kesungguhan Pak Sigit mencintai dan menjaga istrinya berhasil meluluhkan hati orangtua Bu Marpat, terutama sang ayah yang awalnya mati-matian menentang perkawinan tersebut. Bahkan kini keluarga besar Bu Marpat kadang datang merayakan Lebaran di Lasem.

“Saya sampai sekarang menganut Konghuchu, sedangkan istri saya masih Islam. Anak saya tiga orang Katolik, sedangkan yang satu menikah dengan orang Jawa dan memeluk Islam. Cucu saya ada yang mau masuk Pondok Gontor. Ada juga cucu yang lain mau menikah dengan orang Sunda. Semuanya tinggal di luar Lasem, ada di Jakarta dan Surabaya. Jadi tinggal kami berdua di sini. Kami betah di Lasem, di sini belum pernah terjadi insiden sara. Sejak dulu saya juga banyak berteman dengan orang Jawa. Orang Tionghoa dan Jawa hidup berdampingan damai, tidak ada yang saling mengganggu,” ujar Pak Sigit membeberkan keragaman dalam keluarganya dan kecintaannya terhadap Lasem.

Sejarah mencatat hubungan Lasem dan harmonisasi Tionghoa-Jawa memang cukup mesra. Pernikahan beda etnis seperti Pak Sigit-Bu Marpat juga sudah lazim dijumpai di Lasem sejak zaman dulu. Kota kecamatan di pesisir pantai utara Pulau Jawa ini diyakini menjadi salah satu pintu masuk migrasi awal orang Tionghoa ke Jawa. Jejak-jejak peninggalan Tionghoa bertebaran di sudut kota kecil ini. Akulturasi Tionghoa-Jawa di Lasem juga sudah berlangsung sangat lama. Salah satu bukti nyata harmonisasi itu adalah keberadaan patung Panji Margono, seorang tokoh dan pahlawan Lasem berdarah Jawa, di Kelenteng Gie Yong Bio, Lasem.  Penghormatan ini jelas sangat luar biasa. Orang Tionghoa biasanya hanya memberi posisi istimewa kepada dewa atau leluhur mereka. Tapi Panji Margono berhasil mendobrak garis batas dan dianggap menjadi bagian tak terpisahkan dari komunitas Tionghoa di Lasem.

Siapakah Panji Margono? Saya mendapat penjelasan gamblang soal ini saat bertukar cerita dengan Pak Yono dan Pak Toro. Mereka adalah motor dari Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah (Fokmas) Lasem. Panji Margono adalah seorang ningrat keturunan Adipati Tejakusuma V. Pada 1727 dia menolak menggantikan ayahnya menjadi Adipati Lasem. Beliau memberikan tanggung jawab itu kepada sahabatnya, seorang Tionghoa, Ue Ing Kiat, yang kemudian bergelar Raden Widyoningrat. Keduanya juga bersahabat erat dengan Tan Ke Wei. Persahabatan ketiganya dianggap sebagai salah satu akar kuat mengapa masyarakat Jawa dan Tionghoa di Lasem bisa hidup berdampingan nyaris tanpa riak-riak masalah. Tentu saja sebelum era itu, harmonisasi Jawa-Tionghoa sudah terpupuk, namun semakin kuat berkat ketiga tokoh tersebut.

Ketiga sahabat tersebut juga bersatu melawan VOC setelah terjadi pembantaian besar-besaran warga Tionghoa di Batavia pada 1740-an. Mereka juga dibantu seorang tokoh Islam,  Kyai Ali Baidowi. Sebagian orang Tionghoa di Batavia melarikan diri, sembari memicu pemberontakan terhadap Belanda di sejumlah wilayah, termasuk Lasem. Nah, keempat tokoh Lasem tersebut bahu membahu ikut berjuang dalam perang tersebut. Kemudian Panji Margono, Oey Ing Kiat dan Tan Kee Wie terbunuh dalam sebuah pertempuran. Kisah perjuangan lintas etnis inilah yang diyakini menumbuhkan pondasi yang kuat terhadap harmonisasi yang terjadi di Lasem.

Dari Lasem saya memperoleh banyak hal. Selain bertemu teman-teman yang hebat dan menyenangkan, saya juga mendapat bertumpuk pelajaran berharga tentang harmonisasi dan cerita sejarah yang tak ternilai. Apalagi saya pernah menjadi saksi hidup kerusuhan hebat beraroma sara Jawa-China di Solo pada Mei 1998. Saat itu saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri ekspresi ketakutan di wajah orang-orang Tionghoa. Mereka berusaha melindungi diri dengan berbagai cara, salah satunya memasang label “Pribumi” di pintu-pintu rumah mereka. Cerita yang berkembang tentang perlakuan mengerikan terhadap etnis Tionghoa sungguh liar, meski saya tidak tahu apakah semuanya benar. Saat itu seperti ada jurang sangat dalam antara etnis Jawa dan Tionghoa. Slogan Bhinneka Tunggal Ika seolah lenyap tak berbekas. Solo butuh waktu lama untuk bangkit, mengobati luka dan menipiskan jarak yang sempat terbentang. Kenangan buruk yang semoga tidak terulang lagi. Bukankah tak ada yang salah dengan perbedaan sepanjang kita memandang dan memahaminya dengan bijak. Bukankah perbedaan itu membuat hidup menjadi lebih berwarna? Seperti juga saya meyakini bahwa Tuhan menciptakan perbedaan supaya manusia mengerti apa arti toleransi.

oleh : Yus Mei Sawitri
SUmber: http://usemayjourney.wordpress.com

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *