Sejarah Berkembang Tiap Hari di Rembang

Aswarhty, lelaki berambut panjang itu menjemputku di terminal bis. Baskoro Bessy atau Pop, begitu teman-temannya memanggilnya adalah seorang seniman dan pria dengan impian besar untuk Rembang, salah satu kabupaten di utara Jawa Tengah, tempat dia lahir dan dibesarkan. Pop akan mengajakku berkeliling dan mengizinkanku menginap di rumahnya. Malam ini, dia mengajakku makan malam sederhana di Pecinan (Kota/Kompleks Cina) di Rembang.

Rembang merupakan sebuah kabupaten sekaligus nama untuk ibu kotanya. Terletak di perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah, dapat ditempuh dua setengah jam perjalanan darat melalui Jalur Pantai Utara dari Semarang (Ibu Kota Jawa Tengah).

Jalan pantura berfungsi sebagai jalur utama untuk truk pengangkut muatan berat dari Jakarta atau Semarang menuju Surabaya selama 24 jam nonstop. Namun, jika kita belok ke selatan dari jalur ini, suasana kota agak sepi, mungkin Rembang pantas disebut sebagai kota yang ‘low profile’.

Jalanan Rembang yang sempit terlihat cukup lebar untuk sedikit kendaraan. Banyak bangunan tua bergaya Cina, Jawa, dan Kolonial di pinggir jalan raya dan gang-gang. Kehidupan tampak berjalan santai di sini, khususnya di daerah Pecinan.

Aku dan Pop tiba di warung makan Pak No, yang menyajikan nasi tahu dan sate srepeh. Nasi tahu merupakan campuran nasi, tahu dan sambal manis. Sate srepeh terdiri dari potongan daging, kulit atau darah beku ayam – mintalah sate dideh jika anda merasa seperti vampir – yang dicelupkan dalam campuran santan dan bumbu khas. Tidak ada yang memuaskan kelaparan seorang pelancong selain kuliner lokal yang spesial seperti ini.   

Hanya dua warung di kota ini yang menyajikan kedua hidangan itu, jadi esok paginya kami mencoba yang satunya. Warung Sanem, sebuah warung yang sama sederhananya, terletak di desa Sumberjo depan sebuah rumah biru berarsitektur Cina. Setelah menghabiskan sarapan yang mengesankan, kami melihat-lihat tempat tinggal yang menarik itu.

“Apa yang membuat anda terkesan dengan rumah jelek ini?” kata perempuan muda yang tinggal di situ. “Anda bisa menemukan yang lebih besar dan lebih bagus di Lasem.”

Dan Lasem merupakan tempat yang tepat untuk kami tuju. Ke arah timur dari Rembang, Pop memilih rute laut yang melewati hamparan pasir putih dan deburan ombak. Di sisi lain terlihat kincir-kincir angin dan gudang penyimpanan garam yang luas, terpancar kilau hitam putih dari tambak garam

Wilayah ini dulu rimbun dengan hutan mangrove atau bakau, tapi pada tahun 1730 sungai Lasem diperlebar untuk dermaga atau galangan kapal yang cukup besar dan rawa bakau secara berangsur-angsur menjadi dangkal, berubah untuk lahan pertanian dan pemukiman selama sepuluh tahun kemudian. 

Satu dari dua hal yang paling terkenal dari Lasem adalah Batik Tulis berwarna cerah atau  Rumah Tua Cina. Di Lasem, gang-gang sepi yang terbuka dengan dibatasi tembok rumah tinggi di kanan kiri – teras rumah mereka sering sudah rusak dan banyak lubang menandakan “keluarga kurang mampu.”

Aku berharap bisa masuk ke dalam beberapa bangunan yang lebih penting dan mengikuti tim Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) dari Prambanan Yogyakarta dalam perjalanan mereka ke Lasem. “Kita bisa ikut mereka,” tegas Pop.

Dalam tesisnya tahun 1990-an “Arsitektur Lasem,” Pratiwo memperkirakan bahwa pada abad ke-14, Lasem merupakan pemukiman inti untuk daerah yang cukup besar di bawah Kerajaan Majapahit – Penduduk setempat masih menunjuk Dewi Indu, seorang Ratu Lasem kuno. Sisa-sisa peninggalan periode ini, semuanya dapat ditemukan di sekitar Bukit Lasem – “kura-kura hitam”, dimana penduduk keturunan Cina paling awal tinggal di antara bukit dan tepi timur “burung phoenix merah” atau sungai Lasem.

Kepastian kedatangan penduduk keturunan Cina pertama kali masih belum jelas. Buku ajaran spiritual Lasem, Sabda Badra Santi, mencatat bahwa pada awal abad ke-15, dimana pedagang Cina terkemuka, Bi Nang Un tiba di pantai utara Jawa, dia melihat penduduk asli Lasem sudah tinggal berdampingan dengan warga dari Cina dan Indocina.

Kelompok cina ini – awalnya memeluk ajaran Konghucu kemudian beralih ke agama Budha – mengasimilasikan tari tradisional mereka, musik gamelan, dan pembuatan batik kedalam budaya setempat. Bi Nang Un dan pembantunya memilih tinggal di Kemandung, daerah Selatan Lasem dan menyebarluaskan agama Islam.

Selama masa penjajahan Belanda, pemukiman Cina meluas hingga ke tepi barat sungai. Pelabuhan yang mereka bangun di “burung phoenix merah” berkembang lebih besar selama penjajahan Jepang. Lasem menjadi terkenal sebagai Tiongkok Kecil atau Cina Kecil.

Penguasaan aktivitas ekonomi oleh warga Cina berlanjut sampai tahun 1960-an, ketika Pemerintah Indonesia melarang “orang asing” menjalankan bisnis di daerah pedesaan. Lebih dari setengah kota Cina tertinggal dari kota-kota besar lainnya. Lasem menjadi “kota mati” dan tetap seperti itu selama berpuluh-puluh tahun.

Dalam perjalananku di Rembang, musim kemarau yang panjang akhirnya selesai. Minggu terakhir di bulan Oktober turun hujan pertama sebagai penanda akan memasuki musim penghujan terus menerus, membuka jalan menuju pagi yang sejuk.

Aku dan Pop makan lontong tuyuhan (nasi yang dikukus dalam daun pisang) untuk sarapan, kemudian menjelajah bertelanjang kaki di bawah bukit Lasem, melewati Kuburan Tua Cina. Selanjutnya kami meneruskan perjalanan ke Desa Soditan, Lasem dan bertemu tim BP3 dan perwakilan Fokmas Lasem (Forum Komunikasi Masyarakat Lasem) yang membolehkan kami mengikutinya. Tengah hari, Aku dan Pop dengan tidak sabar masuk Rumah Candu atau Rumah Opium untuk pertama kalinya. 

Didesain dengan pengaruh gaya Cina yang sangat kuat, bangunan Rumah Candu, termasuk halaman depan dan belakang seluas 5.500 meter persegi berdinding di tanah. Pada awal abad 19, Sarang Candu milik warga Cina menguasai pulau Jawa – Rumah Candu sekaligus sebagai tempat tinggal dan gudang candu, saksi bisu seberapa merajalelanya obat bius kala itu, dinyatakan oleh pahlawan nasional, Raden Ajeng Kartini dalam catatannya, “sebuah wabah di Jawa bahkan lebih ganas dari penyakit sampar.” Kartini dinikahi seorang bupati Rembang dan meninggal di Rembang. Banyak objek wisata di sini, seperti sebuah museum, sebuah hutan wisata dan sebuah pantai yang dinamai Kartini.

Berlanjut, kami pergi ke Karuna Dharma, sebuah kuil Budha dalam sebuah rumah besar dan Cu An Kiong, dikatakan kuil ini merupakan kuil Cina tertua di pulau Jawa. Kami juga mengunjungi bekas dermaga, stasiun kereta api Lasem yang sudah tutup dan kuburan sepi dari Santi Puspo, penguasa Lasem pada akhir abad ke-16. Website Dinas Pariwisata Rembang menyebut dermaga dan kuburan Santi Puspo sebagai dua dari banyak situs wisata berharga yang terlantar. Bahkan bangkai kapal yang ada di dermaga – sekarang tambak udang – telah dijual oleh pemilik tanah.

Ditanya mengapa Lasem tidak diakui sebagai wilayah situs peninggalan yang dilindungi, Noor Effendi, kepala dinas pariwisata, berkata: “ Mungkin karena ada banyak sekali persyaratan yang harus dipenuhi dan prosedurnya memakan waktu yang lama.” Mungkin.

Bagus Uji dari tim BP3 mengatakan tugas kelompoknya di Lasem adalah memberi rasa percaya yang lebih besar kepada penemuan balai pelestarian peninggalan yang telah dibuat di sini. “Kami akan memberikan rekomendasi kepada Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Lasem seharusnya dilihat sebagai wilayah strategis untuk sebuah pengembangan elemen budaya fisik maupun non fisik.”

Pop, yang mendirikan Masyarakat Sejarah Rembang, melihat potensi untuk pariwisata di Rembang. “Tapi kami kekurangan Sumber Daya Manusia,” keluhnya. “Saya baru-baru ini meminta Green Map Indonesia untuk menyelenggarakan sebuah workshop di sini. Mereka menyanggupi bisa melakukannya dalam jangka waktu dua bulan. Saya panik karena tidak tahu siapa saja yang akan berpartisipasi.”

Yon Suprayoga, ketua MSR, sedikit berbeda: “ Banyak yang datang kepada saya dan berkata, “Ayo lestarikan apa yang masih kita punya. Kami ingin menjadi sukarelawan. Orang-orang muda ini penuh dengan spirit positif.” 

Pop berkata bahwa orang-orang seharusnya mengunjungi Rembang karena begitu banyak benda purbakala yang belum digali di sini. “Kamu tidak pernah tahu jenis penemuan apa yang kamu bisa menjadi bagiannya,” tambahnya.

Kata-katanya terbukti benar sehari sebelum aku pulang. Setelah menikmati pemandangan Rembang dari Bukit Tapa’an, salah satu puncak Bukit Lasem, Pop menerima sms – sebuah bangkai kapal baru saja diangkat dari dasar Sungai Lasem.

Tim BP3, Fokmas Lasem, Polisi dan warga setempat mengawasi proses untuk mencegah barang peninggalan tersebut dijual oleh lima pemburu harta karun yang pada mulanya berusaha mengangkutnya. Ukurannya kira-kira 7 x 30 meter, bangkai itu diperkirakan berumur lebih dari 200 tahun.

Penemuan itu mengingatkanku pada salah satu versi asal-usul nama Rembang: Sebuah kapal kerem (tenggelam) pada zaman dahulu, dan kemudian kemambang (mengapung) kembali hari ini.

Dengan lapisan sejarah yang kaya, ada kemungkinan lebih banyak harta peninggalan yang menunggu untuk digali – pertanyaannya adalah apakah masyarakat dan pemerintah sungguh-sungguh bersedia melestarikannya? Seperti nama sungai, jawabannya akan menentukan sebuah babagan penting, sebuah kata Jawa untuk “fase” dalam masa depan Rembang.

Oleh: Labodalih Sembiring

Sumber: http://www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/history-emerges-every-day-in-c-javas-rembang/478153

Image: http://bekabuluh.wordpress.com dan http://latitudes.nu

Diterjemahkan oleh Admin secara kasar dan asal-asalan.

Respon (3)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *