Opini  

Rerasan Etos Bangsa

Etos bangsa adalah totalitas kebiasaan yang terwujud dalam segala sikap dan kelakuan manusia. Etos ini perlu diarahkan ke realisasi eksistensi bangsa agar tidak hanya meningkat taraf hidupnya, namun juga mempertinggi kualitas hidup dan martabatnya.

Dulu para sesepuh kita sering menasehati bahwa untuk mencapai sesuatu cita-cita yang luhur harus melalui “laku” atau jalan panjang yang disertai usaha “prihatin”. Dalam bahasa ilmiahnya harus ada “etos kerja” yang mengacu kepada inner-worldly orientation (orientasi kepada dunia batin) dan this-worldly orientation (duniawi-material). Jika dua hal itu diseimbangkan maka akan muncul self-fulfillment dan self realization, yakni kepuasan batin.

Maraknya budaya instan lewat dunia maya sebagaimana dilakukan Sinta dan Jojo, Ayu ting ting, Briptu Norman dengan goyang Indianya dan seterusnya misalnya, menunjukkan bahwa “laku” sebagaimana dinasehatkan para sesepuh itu tidak ada, dan kalaupun nampak hanya “laku” sekedarnya saja. Dulu orang agar bisa terkenal harus memperlihatkan performance dengan jalan yang berliku dan panjang. Seorang artis seperti Rachmat Kartolo, Koes Plus, Lenny Marlina, WD Mochtar, Ike nurjanah, dan sebagainya, harus melalui jalan yang berliku untuk dapat mencapai puncak karier sebagai seniman.

Bandingkan dengan Sinta-Jojo, Udin atau Briptu Norman. Mereka hanya mengandalkan “seni” seadanya, langsung “meledak” dan diundang kesana — kemari, bahkan Sinta-Jojo langsung masuk dapur rekaman dan bintang iklan. Tentu saja ini bukan salah mereka, karena dunia pers dan dunia rekaman juga ingin “memanfaatkan” momen ini, dan karenanya soal kemampuan acting atau bekal suara bagus bukan suatu masalah.

Padahal laku batin itu dalam istilah Gordon Allport dan David Reisman, adalah motivasi kuat untuk meraih cita-cita (inner-directed), membawanya kepada perasaan penuh optimisme. Manusia adalah the center of human action yang mencurahkan segala energinya untuk mewujudkan mimpinya itu. Lihat saja setiap ada audisi untuk menjadi artis, entah itu “Indonesia Mencari Bakat”, “Indonesia Idol”, dan kontes menyanyi dan melawak, pesertanya membludak sehingga membuat kewalahan panitia.

Yang dipermasalahkan dalam tulisan ini bukan soal suka atau tidak perilaku itu, namun sebuah pertanyaan, apakah ini merupakan representasi etos kerja bangsa yang kini kian memudar? Pertanyaan ini penting sekali dijawab karena dalam segala bidang kehidupan, unjuk kerja atau performance bangsa kita nampak kalah. Di level pemerintahan misalnya, sudah tidak ada unjuk kerja yang melayani rakyat sebagaimana dicerminkan tingginya angka korupsi dan ngotot-nya anggota dewan untuk meraih keuntungan materi.

Di level olahraga juga tidak nampak prestasi yang membanggakan. Demikian pula di dunia pendidikan. Di negeri ini amat sunyi karya-karya tulis intelektual yang indikatornya ditunjukkan oleh rendahnya buku-buku yang diterbitkan. Negara Dunia Ketiga sekelas India saja sudah menghasilkan pemenang Nobel untuk karya tulis sastra, sedangkan kita belum apa-apa. Demikian juga di tingkat Asia Tenggara saja, jumlah buku terbitan di negeri ini masih jauh tertinggal.

Dari titik inilah kembali bicara soal etos bangsa kita jadi pesimis karena dunia informasi — utamanya media Televisi — yang notabebe menjadi “panutan” masyarakat, terus “mem-brain washing” masyarakat lewat iklan atau berita yang membawa kepada pelemahan etos bangsa karena bernuansa budaya instant dan hedonis.

Media elektronik lewat sinetron opera sabun hanya sibuk menjual kekonyolan (lewat lawakan yang tidak cerdas, kebanci-bancian, dst), sinetron menjual air mata, hedonisme, nafsu amarah, konsumtifisme, dst, yang terus mengajak masyarakat untuk menirunya. Dalam tayangan iklannya juga setali tiga uang, terus memompakan bahwa yang ideal itu ialah yang cantik, berkulit putih, rambut panjang, memiliki kartu kredit, pakai mobil ini-itu, dst.

Inilah salah satu penjelmaan dajjal dalam berbagai bentuk baik di lingkup politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan dalam lingkup agama sekalipun.

Semoga dengan kesadaran diri,kita bisa menikmati dan menjalani hidup dengan sebenar-benar hidup

By jolodong Gendeng

Exit mobile version