Transformasi Pendidikan Berbasis Komparatif [Upaya Merevolusi Paradigma Edukasi]

Fenomena rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, sangat berpengaruh besar pada kemampuan bangsa mewarnai kancah persaingan global. Pendidikan sebagai proses pembentukan peradaban manusia yang humanis bercorak modernis kandas ketika dihadapkan pada rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengenyam pendidikan. Sikap statis dan apatis rakyat Indonesia dalam memaknai kemajuan bangsa lain semakin memperlebar jurang pemisah antara kategori bangsa maju dan terbelakang. Hal itu terlihat dari relatif rendahnya indeks pembangunan manusia Indonesia dan relatif rendahnya angka daya saing bangsa. Realitas pendidikan Indonesia saat ini berada pada fase intellectual deadlock, diindikasikan dengan minimnya upaya pembaharuan. Konsentrasi pembaharuan sebenarnya bukan hanya pada sistem, manajemen, maupun birokrasi tetapi lebih pada upaya mensinergikan paradigma bangsa, bersatu untuk bangkit dari keterpurukan.

Dalam tinjauan komparatif, pendidikan di negara maju didesain sebagai investasi yang berorientasi futuristik. Kiranya sangat urgent, negara berkembang seperti Indonesia mengikuti nasehat peneliti Mc Dougall: invest in man not in plan. Supaya investasi dalam pengembangan manusia dapat berhasil, kita harus merenovasi kembali dunia pendidikan kita, bukan secara tambal sulam melainkan secara komprehensif dan mendasar. Sudah saatnya keterbelakangan ini menjadi awal lahirnya revolusi, menatap dunia dengan terbuka tanpa menghilangkan identitas bangsa, karena hakikat Revolusi menghendaki suatu upaya rekontruksi, reinterpretasi dan reformasi. Revolusi senantiasa mesra dilekatkan dengan dialektika, logika, romantika dan spirit progresivitas menuju perubahan ke arah yang lebih baik.

Kesadaran vis a vis Tuntutan

Belantika pendidikan Indonesia membutuhkan dua perkara, yaitu kesadaran dan gagasan. Sebagai kesadaran, setelah enam puluh lima tahun Indonesia merdeka, makna kemerdekaan hanya dipahami sebatas lepas dari jeratan kolonial bukan semangat menjadi bangsa yang benar-benar merdeka. Dalam arti dhohiriah dan ma’nawiyah, dan tersadar bahwa kita berada dalam dunia baru, semakin terbuka dan banyak pembaharu. Sebagai sebuah gagasan, kenyataan akan akutnya kondisi bangsa yang mencakup dimensi teritori, ekonomi, edukasi, sosial, hingga budaya, selayaknya menggugah kesadaran kita untuk berperan aktif dan berfikir progresif lewat ide imajinatif demi meningkatkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dua hal itulah yang menjadikan eksistensi pendidikan benar-benar ada. Karenanya, kemajuan pendidikan mungkin ada ketika ia masih dipikirkan, dialami dan dikerjakan bersama oleh masyarakatnya. Mungkin ini syarat sebuah kemajuan. Seperti perkataan John F. Kennedy “Kemajuan merupakan kata yang merdu. Tetapi perubahanlah penggeraknya dan perubahan mempunyai banyak musuh.”

Sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 2 adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman . Bila dicermati lebih mendalam, visi dan misi pendidikan Indonesia hanya sebatas utopia dan gagasan filosofis tanpa adanya implementasi praktis. Pertanyaan mengenai untuk apa pendidikan diselenggarakan dan orientasinya sering menimbulkan multi-interpretasi di kalangan pakar pendidikan. Kekaburan paradigma ini menyebabkan operasi pendidikan kita mengalami misplacement, tidak menjawab kebutuhan dan persoalan masyarakat pendukungnya. Secara struktural, politik pendidikan kita, dari masa ke masa dijalankan dengan naluri dan spekulasi para penguasa, dan tidak mengacu kepada prinsip-prinsip ilmiah ilmu pendidikan dan pengalaman negara-negara maju. Kebijakan pendidikan nasional seringkali didasarkan atas trial and error, hit and run, dan kick and rush, sehingga menghasilkan berbagai anomali dalam operasionalisasinya. Kaidah think globally dan act locally yang ditawarkan Menteri Pendidikan Muhammad Nuh, setidaknya menjadi gerbang pembaharuan akan bagaimana masyarakat berfikir global dan terbuka serta tetap mempertahankan budaya lokal dari pengaruh destruktif.

Potret Suram Pendidikan di Indonesia
Berawal dari rasa kepedulian, saya mencoba mengkritisi pendidikan Indonesia dari berbagai aspek dan dimensi yang meliputinya. Ketertinggalan bangsa Indonesia dari Negara tetangga, sedikit banyak telah mengusik kewibawaan nama besar Indonesia di mata dunia. Melihat realita yang ada, pendidikan sebagai media strategis dalam memacu kualitas sumber daya manusia harus sesegera mungkin diberdayakan dan dioptimalisasikan. Namun, impian tidak selalu rukun dengan kenyataan. Pendidikan di tanah air sampai saat ini masih tertimbun berjuta problematika. Meskipun berganti aparat birokrat dan orde pemerintahan, dunia pendidikan tak kunjung lepas dari permasalahan klasik baik menyangkut masalah kualitas, kurangnya pemerataan pendidikan, kasus korupsi dana pendidikan hingga terputusnya daya jelajah intelektual kaum terpelajar. Hal itu seharusnya menjadi renungan kita bersama dalam merealisasikan amanat UUD 1945 dalam usaha mencerdaskan bangsa.

Perlu disadari, Indonesia saat ini sedang dan dalam penjajahan multimedia yang diprakarsai oleh negara-negara maju seperti Amerika dan sekutunya demi melanggengkan kebodohan di Indonesia yang terkordinir secara sistematis . Konspirasi ini berjalan cukup mulus dan terorganisir, terbukti dari rendahnya presentase kaum terdidik bangsa baik secara kualitas maupun moralitas. Berdasarkan laporan UNDP sebagai institusi inisiator dan penyelenggara survey Human Development Index (HDI)tahun 2009, menempatkan Indonesia pada urutan ke 111 dari 184 negara. Dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (66), Filipina (105) Singapore (23) dan Jepang (10) , posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Selain itu Peringkat daya saing Indonesia berdasarkan data IMD World Competitiveness Yearbook 2009 masih berada di urutan ke 51. Berdasarkan riset IMD tersebut, Indonesia memperoleh nilai 55,47. Sedangkan peringkat pertama masih ditempati Amerika Serikat (AS) dengan skor 100. Meski demikian, peringkat daya saing Indonesia tersebut masih tertinggal dibanding negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura (3), Malaysia (18), Thailand (26) dan filipina (43). Sungguh realitas yang teramat tragis disaksikan.

Selain angka kualitas pendidikan yang rendah, maraknya penyelewengan dana pendidikan semakin memperparah impian bangsa bangkit dari ketertinggalan. Temuan tindak korupsi hampir merata mulai dari atasan hingga bawahan. Menurut Peneliti Senior Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, selama kurun waktu 2004-2009, sedikitnya terungkap 142 kasus korupsi di sektor pendidikan. Kerugian negara di taksir mencapai Rp. 243,3 miliar . Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan penyimpangan dalam sistem pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 2,2 triliun di bidang pendidikan ungkap Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M Jasin. Dalam wawancara saya dengan Kepala Sekolah SD Negeri Narukan Bapak Mundakir SPd, beliau mengungkapkan bahwa indikasi penyelewengan dana BOS telah menjadi sebuah kewajaran, hal itu terlihat dari laporan administrasi yang dibuat-buat, dan terjadinya simbiosis mutualisme antara Pemerintah Kabupaten dengan Sekolah untuk memangkas dana pendidikan, tentunya dengan peran lobi di dalamnya. Kenyataaan inilah yang membuat negeri ini mengalami stagnansi dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Analogi logisnya, pendidik juga perlu mendapat pendidikan.

Tantangan krusial menuju masyarakat peduli pengetahuan adalah masalah sumber daya manusia (SDM). Sehebat apapun peralatan tekhnologi, jumlah dana melimpah, manajemen tertata rapi, tapi SDM tidak memadai, semua itu bisa jadi barang basi. Demikian halnya, mengenai masalah moral. Apabila iptek diibaratkan sebagai pisau dengan dua sisi, maka hanya SDM yang sadar etika saja yang dapat menghindari terjadinya moral hazard. Dengan demikian, pengembangan SDM yang berkualitas secara intelektual dan moral spiritual adalah masalah yang sangat urgen. Fenomena tawuran antar pelajar, kasus narkoba, pergaulan bebas yang berbuntut HIV Aids adalah indikasi terputusnya jaringan emosional antara anak didik dan pendidik. Melihat hal ini kiranya perlu adanya reformasi metodologi pembelajaran yang lebih menekankan pendekatan holistik, pro-actine sosial skills seperti resolusi konflik dan metode cooperative learning emotional kepada siswa. Bukan sekedar teoritik tematik, karena intisari sebuah pendidikan adalah moral dan intelektual. Pakar pendidikan, Arief Rachman, menambahkan, sistem pendidikan yang keliru memang memperparah kondisi. Peran lembaga pendidikan dirasa kurang menerapkan program pembinaan untuk membentuk manusia terpelajar atau intelektual. Sekolah tidak bisa membentuk intelektual rendah hati, cerdas serta berkemampuan menyelesaikan masalah dengan dialog dan logika. Disinalah kontribusi masyarakat dan lembaga pendidikan berperan. Untuk lebih memudahkan mencari solusi permasalahan, saya memakai istilah revolusi SISMAPA (sistem, Manajemen dan Paradigma).
Pertama: Revolusi Sistem

Membincangkan sistem pendidikan kerap kali kita dibenturankan dengan apa yang disebut kordinasi dan birokrasi. Sistem pendidikan yang seharusnya mengedepankan keterampilan dan kompetensi semakin tereduksi menjadi pencapaian berbasis nilai. Definisi keberhasilan proses pendidikan sendiri hanya diukur dengan angka-angka kuantitatif baik perorangan maupun persentase kelulusan. Akibatnya pendidikan hanya menjunjung tinggi supremasi otak sehingga mengabaikan unsur hati dan kepedulian. Seperti tutur Romo Mangun “sudah selama 30 tahun lebih anak-anak kita dianiaya setiap hari oleh suatu sistem pengajaran dan pendidikan yang tidak menghargai anak sebagai anak.” Di negara berlandaskan asas demokratis seperti Indonesia, pendidikan seharusnya lebih diarahkan menjadi motor penggerak bagi terbentuknya jiwa demokrasi: kebebasan, keadilan, persamaan, dan dialog. Menurut John S Brubacher dalam Modern Philosophies of Education (1978) menjelaskan, “pendidikan demokratis” sebagai pendidikan yang menghargai kemuliaan manusia (dignity); individualitas dan kebebasan (akademis); perbedaan dan keanekaragaman; persamaan hak (equalitarianism), di mana model pendidikan harus “disesuaikan” dengan aneka perbedaan (kebutuhan, kecerdasan, kemampuan), dan “keberbagian” (sharing), di mana yang berbeda-beda itu (differences) harus diberi tempat, tetapi semua yang berbeda dapat berbagi untuk prinsip-prinsip umum. Dalam konteks otonomi daerah dan demokrasi, penghargaan akan “perbedaan” (kebutuhan, kecerdasan, kompetensi), “diversitas” (daerah, alam, dan wilayah), dan “pluralitas” (suku, bahasa, agama, ras) seharusnya menjadi fondasi “ideologi pendidikan.” Segala bentuk penyeragaman, homogenisasi, dan standardisasi tidak boleh dilakukan secara sepihak menggunakan otoritas kekuasaan, tetapi diperbincangkan dan dikomunikasikan dalam ruang publik demokratis (Jurgen Habermas) guna mencapai konsensus bersama. Dari sinilah system pendidikan perlu diarahkan pada pendalaman substansi bukan hanya memperindah sisi luarnya.

Kedua: Revolusi manajemen
Secara etimology manajemen berasal dari kata manage yang berarti “to conduct or to carry on, to direct” (Webster Super New School and Office Dictionary), yang berarti “Mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “manajemen” diartikan sebagai “Proses penggunaan sumberdaya secara efektif untuk mencapai sasaran.” Adapun secara terminology, oleh para ahli telah memberikan tafsiran yang beragam, dengan formulasi yang berbeda pula. Menurut George R. Terry,(1986): Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari akumulasi tindakan: Perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan, dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber-sumber lain. Sedangkan menurut (Boone & Kurtz, 1984: 4) Manajemen is the use of people and other resources to accomplish objective. Setelah memperoleh gambaran tentang manajemen secara umum maka pemahaman tentang manajemen pendidikan akan lebih mudah, karena dari segi prinsip serta fungsi-fungsinya nampaknya tidak banyak berbeda, perbedaan akan terlihat dalam substansi yang dijadikan objek kajiannya yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah pendidikan. Oteng Sutisna (1989: 382) menyatakan bahwa Administrasi pendidikan hadir dalam tiga bidang perhatian dan kepentingan yaitu: (1) setting Administrasi pendidikan (geografi, demografi, ekonomi, ideologi, kebudayaan, dan pembangunan); (2) pendidikan (bidang garapan Administrasi); dan (3) substansi administrasi pendidikan (tugas-tugasnya, prosesnya, asas-asasnya, dan prilaku administrasi). Ada dua hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan dunia pendidikan, (1) evaluasi pendidikan dan (2) pemikiran untuk memfungsikan pendidikan di Indonesia. Dari dua hal ini ketika kita tarik ke dalam menejemen pendidikan yang berjalan di Indonesia, ada beberapa fenomena menarik yang sangat menonjol dewasa ini, diantaranya ialah: a) pendidikan kita tidak mendewasakan anak didik, b) pendidikan kita telah kehilangan objektivitasnya, c) pendidikan kita tidak menumbuhkan pola berpikir, d) pendidikan kita tidak menghasilkan manusia terdidik, e) pendidikan kita dirasa membelenggu, f) pendidikan kita belum mampu membangun individu belajar, g) pendidikan kita dirasa linier-indroktinatif, h) pendidikan kita belum mampu menghasilkan kemandirian, dan i) pendidikan kita belum mampu memberdayakan dan membudayakan peserta didik.

Fenomena tersebut di atas, itu semua adalah tentang evaluasi dari pendidikan kita yang ada sekarang ini. Sedangkan pemikiran untuk memfungsikan pendidikan di Indonesia dirasa selain merupakan tuntutan kebutuhan di atas, juga dibutuhkan adanya (1) “peace education” pendidikan yang damai / menyejukkan; (2) pendidikan yang mampu membangun kehidupan demokratik; (3) pendidikan yang mampu menumbuhkan semangat menjunjung tinggi HAM, dan (4) pendidikan yang mampu membangun keutuhan pribadi manusia berbudaya.

Persoalan pendidikan di Indonesia dewasa ini sangat kompleks. Permasalahan yang besar antara lain menyangkut persoalan mutu pendidikan, pemerataan pendidikan, dan manajemen pendidikan. Mengenai mutu pendidikan menurut Paul Suparno adalah masalah mengenai kurikulum, proses pembelajaran, evaluasi, buku ajar, mutu guru, sarana dan prasarana. Termasuk pemerataan pendidikan adalah masih banyaknya anak sekolah yang tidak dapat menikmati pendidikan formal di sekolah. Sedang persoalan manajemen pendidikan adalah menyangkut segala macam pengaturan pendidikan seperti otonomi pendidikan, birokrasi, dan transparansi agar kualitas dam pemerataan pendidikan dapat terselesaikan. Terobosan baru manajemen Pendidikan Indonesia perlu di dasarkan pada planning, organizing, actuating, dan controling. Adalah sistem manajemen yang sangat luar biasa ketika itu dilaksanakan dengan sempurna.

Ketiga: Revolusi Paradigma
Pendidikan Nasional Indonesia seharusnya di bangun di atas landasan yang kuat dan bervisi jelas. Pandangan masyarakat akan Pendidikan yang di dasarkan pada orientasi dunia kerja telah menggrogoti nilai suci tujuan pendidikan. Dalam dunia pendidikan telah muncul tiga paradigma dalam pengembangan keilmuan dan proses pendidikannya. paradigma konservatisme dan liberalisme cukup mengilhami saya menawarkan sebuah paradigma . Dalam buku berjudul Celoteh Tentang Zaman yang Berubah karya Prof. DR. N. Driyarkara, S.J. (I, 2007) Masih soal dunia pendidikan. Pak Nala merasa heran dengan para sarjana yang mendem ngelmu (mabuk dengan ilmu) sehingga tak mampu menyelesaikan problem-problem nyata di masyarakat. Bahkan Pak Nala merasa kasihan dengan banyak orang yang mendewa-dewakan ijazah. Celakanya, para pembesar di negeri ini tak luput dari jenis manusia seperti itu. Ijazah sarjana dianggap mencukupi segala kebutuhan dan bisa menjawab semua persoalan. Menurut M.J. Langeveld (1999) pendidikan adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju kearah kedewasaan dalam arti dapat berdiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakan-tindakannya menurut pilihannya sendiri. Ki Hajar Dewantoro mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan dan tumbuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras.

Kesimpulan
Fenomena keterpurukan pendidikan di negara kita yang sangat kompleks dan heterogen, hendaknya dicermati secara teliti oleh masyarakat, terkhusus Mahasiswa dalam mencari solving problem. Fungsi agent of social change yang melekat pada jati diri mahasiswa saat ini hendaklah termaknai bukan sebatas slogan-slogan demonstrasi saja, namun suatu pemikiran yang rekonstruktif dan solutif terhadap permasalahan seputar pendidikan bangsa, dan melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan. Sehingga manajemen dan paradigma antar mahasiswa, masyarakat dan pemerintah dapat berjalan dengan baik dengan menghasilkan suatu argumen dan saran sebagai solusi bagi kebuntuan permasalahan pendidikan.

Sudah menjadi keharusan bagi seseorang atau kelompok mahasiswa untuk berperan aktif dalam menyoroti kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, mengingat tuntutan status sosial yang strategis bagi mahasiswa dari pada elemen masyarakat lainnya, dan ini bukan berarti mahasiswa bergerak atau aktif dalam melakukan kontrol sosial yang berkembang dengan tanpa ideologi dan orientasi perjuangan yang jelas. Mahasiswa harusnya peka menyelami konsep perubahan masyarakat, kebangkitan masyarakat, kritik sosial politik yang ideologis.

Oleh karenanya mahasiswa dalam memahami peranannya dalam peningkatan mutu kualitas pendidikan di Indonesia sepatutnya memiliki kerangka acuan dan pegangan paradigma. Seperti perkataan John F Kennedy “Don’t ask what your country give to you but ask what you do to your country”. Dari kutipan di atas, paradigma berfikir mahasiswa seharusnya terbangun kokoh dalam usaha mengartikulasikan daya intelektual ke arah perbaikan bangsa. Dengan diimbangi daya saing yang komunikatif serta daya sanding yang kompetitif.

Exit mobile version