Batik Jawa secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis, batik kraton dan batik pesisir. Jenis batik yang mungkin lebih banyak dikenal adalah dari Yogyakarta dan Solo yaitu tipe batik kraton. Dari semua jenis batik pesisir, umumnya batik dari Pekalongan yang paling sering menjadi perhatian walaupun batik dari Lasem sama menariknya bahkan lebih mempesona.
Lasem merupakan satu kecamatan di Rembang, salah kota pesisir utara Jawa Tengah. Pada abad ke-16, Lasem merupakan pusat dari sebuah daerah yang luas, salah satu wilayah di bahwa Kerajaan Mataram Islam. Penguasa Lasem mempunyai kebiasaan memberikan batik buatan tangan dari daerahnya kepada Raja-raja Mataram di Yogyakarta dan Solo sebagai hadiah.
Batik Lasem mencapai puncak popularitas dari abad ke-17 sampai sekitar pertengahan abad ke-20, tapi kemudian menurun popularitas dan produksinya karena kalah oleh produksi batik cap buatan mesin.
Widji Soeharto, salah satu pengusaha batik Lasem. Menikahi seorang perempuan dari sebuah keluarga pengusaha batik, dia menjadi generasi keempat dari Padi Boeloe, sebuah merk produksi batik Lasem sejak tahun 1800-an. Dia menceritakan pernah mengalami masa-masa sulit dimana batik Lasem tidak laku:
“Pada tahun 1989, bisnis saya bangkrut. Saya terpaksa harus makan sekali sehari,” katanya sambil berdiri di serambi rumah tuanya yang besar di Desa Dasun, Lasem. “Beberapa tahun lalu, seorang turis Jerman membeli sepotong batik kuno saya seharga satu juta rupiah. Saya menggunakan uang itu sebagai modal untuk membangun kembali bisnis saya.”
Di tahun 1959, pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah peraturan yang melarang orang asing termasuk orang cina, menjalankan bisnisnya di daerah pedesaan. Banyak penduduk Lasem pada waktu itu terdiri dari pengusaha-pengusaha Cina. Aturan ini memaksa mereka pergi ke kota besar seperti Semarang, Surabaya, dan Jakarta, mengubah Lasem menjadi sebuah gang-gang rumah kosong dengan desain-desain etnik Cina yang indah.
Henry Setiawan, anak Widji, juga pemilik perusahaan batik Rajawali. Dia mengatakan bahwa batik lasem mirip dengan batik pesisir lainnya khususnya jenis Pekalongan, dalam hal penggunaan warna-warna terang menyala yang berbeda jauh dari kelembutan batik kraton dengan warna-warna tanah.
“Namun batik Lasem lebih ruwet. Tanahan (latarnya) berbeda karena kami menambah banyak isen-isen (hiasan) di atasnya, sedangkan kebanyakan latar motif Pekalongan dibiarkan kosong. Tambahan ini tidak hanya pada tanahan, tetapi juga pada pola utama yang digambar pada kain,” kata Henry. “Batik Lasem pada dasarnya kelihatan…ramai.” Malah menurut ayahnya, kata yang tepat untuk menggambarkan batik Lasem ialah “edan”.
Menurut Parlan, seorang pengusaha batik dari desa Sendang Asri Lasem, Hanya ada sedikit motif yang bisa diakui sebagai batik Lasem sesungguhnya. “Mungkin hanya Sekar Jagad dan Bledak yang merupakan motif asli Lasem,” katanya, walaupun motif-motif ini juga umum di setiap jenis batik pesisir yang menjiplak keaslian batik Lasem.
Namun demikian, ada karya agung yang antik yaitu batik tiga negeri dan empat negeri. Sepotong kain diproses dan diberi gambar awal di Lasem lalu dibawa ke Pekalongan dan Solo untuk dilengkapi dengan motif akhir tanah dari daerah itu. Hal ini dilakukan untuk memperoleh efek warna tertentu dari tiap tempat air yang dipercaya mampu menghasilkan warna-warna itu. Kualitas motif empat negeri dicapai ketika kain dikembalika ke Lasem, yang terkenal dengan warna merah menyala, untuk sentuhan akhirnya.
Oleh: Labodalih Sembiring
Sumber: http://latitudes.nu/reintroducing-lasem%E2%80%99s-brilliant-batik/
Diterjemahkan oleh admin dengan bantuan kamus John Echols & Hassan Shadily.