KH. Maimoen Zubair: Tetap Mengajar Meskipun Padat Acara

maimoen zubairBerbicara tentang Ponpes Al-Anwar tidak bisa dilepaskan dari figur KH Maimoen Zubair, 81 tahun, sebagai pendiri sekaligus pengasuhnya. Mbah Moen –begitu sapaannya– adalah orang yang paling berperan dalam mengembangkan Ponpes Al-Anwar. Mbah Moen berjuang sejak dari nol hingga Al-Anwar berkembang demikian pesat, baik dari sisi jumlah santri maupun luas area kompleks pesantren.

Ketika beberapa pondok pesantren di Indonesia mulai membuka diri terhadap kurikulum non-pesantren salaf atau tradisional, Mbah Moen tetap teguh dengan sistem salafiyah. ”Pengajaran salafiyah akan selalu dipertahankan,” katanya. Tentu ini tindakan yang berani di tengah-tengah cara pandang masyarakat yang semakin berubah.

Di usianya yang senja, Mbah Moen masih aktif mendidik dan menggembleng para santri. Kealiman, kepribadian, dan kearifannya sangat dikagumi para santri maupun koleganya. Lewat sentuhan tangan Mbah Moen, alumni Pesantren Sarang dikenal tangguh dalam hal fikih. Jadwal mengisi pengajian Mbah Moen sangat padat, terutama pada Ramadan dan Syawal.

Meskipun demikian, Mbah Moen tak melupakan kewajiban pokoknya untuk mengasuh para santri. Pulang berceramah dari berbagai daerah, dia tetap mengajar kitab Ihya Ulumuddin dan kitab-kitab tasawuf lainnya. Mbah Moen khusus mengajar santri senior sehabis salat subuh dan asar. Putra pertama dari 14 anak KH Zubair Dahlan itu mendapat didikan agama langsung dari sang ayah.

Mbah Moen menamatkan madrasah di pondok yang diasuh ayahnya pada 1943. Ia kemudian melanjutkan ke Ponpes Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pada usia 18 tahun. Di Lirboyo, dia sangat terkesan pada metode mengajar KH Abdul Karim. ”Beliau dalam mengajar sangat tekun. Sampai sekarang, metode mengajar beliau saya tiru dalam mengajar pada santri-santri,” kata Mbah Moen. Menurut dia, KH Abdul Karim sangat menekankan pentingnya penanaman budi pekerti bagi setiap santri.

Ketika menunaikan ibadah haji pada 1950, dia memanfaatkannya untuk menimba ilmu dari ulama-ulama di sana. Misalnya Sayyid Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Syekh Amin Kutbi, Sayyid Hasan Masdah, dan Syekh Yasin Al-Fadani.

Syekh Yasin adalah ulama yang menulis lebih dari 50 kitab. MisalnyaAd Darul Mahdud Syarah Sunan Abu Dawud (20 jilid), Fathul Alam Syarah Bulughul Maram (4 jilid), Arbauna Haditsan min Arbaina Kitaban an Arbaina Syaikhon (hadis), Bagyatul Musytaq Syarah Luma Abu Ishaq, Hasyiatun alal Asybah wan nadhair fil furu’ al Fiqhiyah, dan Tatmimuddukhul Ta’liqat ‘ala Wushul Ila Ilmil usul (fikih dan qowaid).

Usai menimba ilmu di Mekkah, pada akhir 1952 Mbah Moen pulang ke Sarang dan mengasuh pesantren hingga sekarang. Mbah Moen juga produktif menulis kitab dalam bentuk taqrirat dan syarah. Misalnya Jawarud Tauhid, Ba’dul ‘Amali, Alfiyah, dan Syarah Imriti (nahwu). Kitab-kitab itu untuk kalangan sendiri, yaitu santri-santri Ponpes Al-Anwar.

Sumber: Majalah Gatra Edisi 45 / XV 23 Sep 2009
Gambar: http://ahadan.blogspot.com

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *