Pesantren Al-Anwar Sarang: Mempertahankan Sistem Pendidikan Salafiyah

PESANTREN AL-ANWAR Sarang

Sebelum sinar matahari memerahkan cakrawala timur, lantunan ayat-ayat suci Al-Quran berkumandang di seantero kompleks. Hanya azan dubuh yang mampu menyenyapkan kumandang Al-Quran itu. Dilanjutkan dengan salat berjamaah yang diikuti ribuan santri. Itulah suasana sehari-hari di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah.

Usai menuaikan salat subuh, santri bersiap-siap mengikuti pendidikan. Begitu matahari timbul di ufuk timur, ribuan santri menyebar menuju madrasah. Sebagian memenuhi ruang untuk muhadharah (kuliah umum). Yang lainnya menghafal pelajaran.

Bagi para santri, waktu 24 jam terisi penuh, tiada jeda sejengkal pun. Siang sampai sore, tidak ada waktu yang kosong. Itulah kehidupan Ponpes Al-Anwar yang berada di Kampung Karangmangu, Sarang, Rembang.

Al-Anwar didirikan KH Maimoen Zubair pada 1967. Pondok ini pada mulanya adalah sebuah kelompok pengajian yang dirintis KH Ahmad Syuaib dan KH Zubair Dahlan. Kelompok pengajian itu pada awalnya dilaksanakan di mushala. Pada perkembangan selanjutnya, kedua perintis tersebut mendirikan tiga kompleks bangunan, yaitu kompleks A, B, dan C.

Kompleks B dikembangkan KH Abdul Rochim Ahmad menjadi Ponpes Ma’hadul Ulumis Syar’iyah. Sedangkan KH Maimoen Zubair –akrab dipanggil Mbah Moen, putra KH Zubair Dahlan– mengembangkan kompleks A menjadi Ponpes Al-Anwar. Latar belakang berdirinya pondok itu, disamping untuk melanjutkan kegiatan pengajian, juga untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar, yang umumnya berpenghasilan rendah sebagai nelayan.

Mbah Moen termotivasi mengembangkan pesantren karena kondisi masyarakat yang belum rutin menunaikan salat lima waktu dan minimnya kemampuan mereka membaca Al-Quran. Lambat laun, masyarakat menunjukkan perubahan. Mereka mulai sering pergi ke musala untuk mengikuti segala kegiatan yang dilaksanakan di sana, mulai salat berjamaah hingga dzibaiyyah (puji-pujian kepada Rasulullah), yang dilakukan setiap malam Jumat. Ada anak-anak mereka yang akhirnya mulai menetap di musala.

Semula, tidak banyak santri yang mengaji. ”Pada waktu itu, cuma ada belasan santri,” kata Ahmad Safaruddin, pengurus Ponpes Al-Anwar. Sehingga ruang di musala menjadi serbaguna: tempat salat berjamaah, menginap, dan mengaji kitab salaf. Mbah Moen sangat anti pada sebutan kitab kuning. Sebab menyebut kitab salaf dengan kitab kuning adalah sebuah penghinaan. Para santri lantas menyebut mushala itu sebagai Pohama, Pondok Haji Maimoen.

Empat tahun kemudian, musala itu tak mampu lagi menampung jumlah santri. Renovasi pun dilakukan dengan menambah bangunan di atas mushala, yang dinamakam Khos Darussalam. Juga dibangun sebuah kantor di selatan kediaman Mbah Moen atau Ndalem Syaikhina. Pada saat itu, Pohama bersalin nama menjadi Al-Anwar. Tahun 1973, dibangun lagi Khos Darunna’im. Pada 1975, dibangun Khos Nurul Huda, dan tahun 1980 didirikan Khos AF.

Ada lagi bangunan lima lantai sebagai gedung serbaguna yang diresmikan Wakil Presiden Hamzah Haz pada 2004. Tahun 2005, dibangunlah Ruwaq Daruttauhid Ponpes Al-Anwar sebagai tempat pertemuan (multaqo) alumni Sayyid Muhammad Alawy al-Maliki Makkah al-Mukarromah. Hingga tahun 2009, Ponpes Putri Al-Anwar mengalami perkembangan pesat dengan 500 santri yang menetap dan dengan fasilitas 29 kamar, perpustakaan, serta enam auditorium.

Dengan model pembangunan secara bertahap, Al-Anwar menjadi pesantren yang menyatu dengan rumah penduduk di kampung. ”Orang luar tak bisa membedakan mana santri, mana orang kampung kalau mereka sama-sama bersarung,” kata Safaruddin.

Pada 2007, jumlah santri Al-Anwar mencapai lebih dari 2.000 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia, baik Jawa maupun luar Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, Lampung, bahkan Papua. Juga dari berbagai latar belakang pendidikan, mulai SD/MI, SLTP, SLTA, sampai sarjana.

Pada 1995, KH M. Najih Maimoen, putra Mbah Moen, yang juga alumni pesantren Abuya Sayyid Muhammad Alawy Makkah al-Mukarromah, merintis pendirian Khos Darussohihain di bawah pengawasan Abuya Sayyid Muhammad Alawy al-Maliky. Juga didirikan khos sebagai wadah bagi santri-santri putri yang ingin menghafal Al-Quran pada 1996 di bawah asuhan Nyai Hj. Mutamimah Najih Maimoen.

Kini menyebut Pesantren Sarang pasti merujuk pada Pesantren Al-Anwar. Sistem pendidikan yang diterapkan di Pesantren Al-Anwar adalah sistem salafiyah, di mana para santri wajib mengikuti pengajian masyaseh atau ustad, dengan pendekatan sistem bandongan (bersama-sama) maupun sorogan (individual). Santri juga diharuskan mengikuti pendidikan muhadharah atau madrasah ghozaliyyah sampai tingkat aliyah.

Kemudian melanjutkan ke Ma’had ‘Aly selama dua tahun. Ma’had Aly adalah model pendidikan tinggi keislaman, yang secara khusus mengkaji khazanah keislaman klasik yang diperkaya dengan materi keilmuan kontemporer.

Dengan model pendidikan yang diterapkan itu, lulusan Al-Anwar bisa melanjutkan ke Al-Azhar tanpa tes. ”Setiap tahun, ada santri Al-Anwar yang melanjutkan belajar ke Al-Azhar,” kata Safaruddin. Pendidikan muhadharah ditempuh secara berjenjang dalam enam tingkatan.

Tingkatan inilah yang dipakai sebagai ukuran penguasaan santri atas materi yang bakal diberikan Mbah Moen saat membahas kitab di pesantren. Calon santri yang masuk pesantren diuji kemampuannnya, untuk kemudian ditentukan pada tingkat berapa dia mesti memulai. ”Ini terkait dengan kelas-kelas pengajian di pesantren,” tutur Safaruddin.

Sedangkan madrasah ghozaliah, menurut Safaruddin, tidak terkait dengan pesantren, meski yang mengasuh dan memberikan pelajaran juga pengasuh pesantren. Materi pelajaran yang diberikan pun mengikuti apa yang diberikan di pesantren, yang semuanya adalah pengkajian kitab-kitab salaf.

Menurut Mbah Moen, pesantrennya memang akan tetap mempertahankan model salafiyah. ”Sistem yang dijalankan sejak dulu memang tidak akan kami ubah-ubah,” Mbah Moen menegaskan. Dengan model salafiyah, menurut Mbah Moen, materi yang diajarkan bisa dirunut seperti rantai yang sambung-sinambung dari siapa ke siapa hal itu disampaikan.

Soal ilmu, kata Mbah Moen, ada yang disebut naqli dan aqli. Yang bersifat aqli memang bisa berkembang, sedangkan yang naqli, menurut dia, adalah buah dari ijtihad. Hadis adalah soal tradisi Islam yang setiap negara punya syakaffah atau budaya yang cocok dengan kebiasaan setempat. ”Karena itulah, pengajaran salafiyah akan selalu dipertahankan,” katanya.

Meskipun demikian, Mbah Moen tidak mengelak dari perkembangan zaman. Sehubungan dengan hal itu, kendati secara tegas bakal mempertahankan nilai-nilai salaf, Al-Anwar juga mendirikan lembaga pendidikan formal di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (NU) yang setingkat dengan SD, SLTP, dan SLTA, yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsayafiyah, dan Madrasah Aliyah Al-Nawar.

Ini bukan cuma untuk mempelajari ilmu umum, melainkan juga memasukkan pelajaran salaf guna memberikan bekal keseimbangan antara iman dan takwa serta ilmu pengetahuan. ”Dengan begitu, tujuan akhir dunia-akhirat dapat tercapai,” kata Mbah Moen.

Kegiatan lain yang juga harus diikuti santri adalah mudzakaroh. Mudzakaroh merupakan bentuk pembahasan secara mendalam pada kitab yang dikaji. Juga penerapannya pada permasalahan yang ada. Yakni meliputi mudzakaroh Fatchul Qorib, Fatchul Mu’in, Ibnu ‘Aqil, Aljauharul Maknun, dan lain-lain. Masih banyak pula kegiatan lainnya.

Ponpes Al-Anwar berkembang menjadi dua. Ponpes Al-Anwar I khusus bagi santri yang ingin mendalami ilmu-ilmu agama secara murni. Ponpes Al-Anwar II sebagai wadah bagi santri yang ingin mempelajari sains dan teknologi berbasiskan ilmu agama. Ponpes Al-Anwar I terletak di Desa Karangmangu, Sarang, Rembang. Ponpes Al-Anwar II terletak di Dusun Kalipang Gondangrejo, Sarang, Rembang. Keduanya terpisah sejauh tiga kilometer.

Di bawah naungan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, Ponpes Al-Anwar juga mendirikan pendidikan formal, yakni Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Anwar, sejak 15 September 2003. Tujuannya tidak hanya untuk mempelajari ilmu-ilmu umum, melainkan juga ilmu agama. Termasuk pelajaran salaf guna memberikan bekal para muridnya untuk memperoleh keseimbangan iman dan takwa dengan ilmu pengetahuan dan teknologi). Sehingga kebahagiaan dunia-akhirat dapat dicapai.

Pada 2006, MTs Al-Anwar meluluskan 121 siswa. Saat ini, MTs Al-Anwar memiliki 247 siswa dari kelas I sampai kelas III. Pada 21 September 2006, Ponpes Al-Anwar juga membuka Madrasah Aliyah Al-Anwar. Pada tahun pertama, jumlah siswanya 74 orang, terbagi menjadi dua kelas, yaitu kelas putra 45 siswa dan kelas putri 29 siswi.

Untuk menunjang kebutuhan di Ponpes Al-Anwar II, anak didik diberi pembekalan penunjang keterampilan. Antara lain pendidikan dan keterampilan otomotif, yang bekerja sama dengan tenaga terampil di bidangnya. Pembangunan sarana pelatihan otomotif ini ditempatkan di Desa Kalipang, berdekatan dengan Ponpes Al-Anwar II.

Sumber: Majalah Gatra Edisi 45 / XV 23 Sep 2009

Gambar: http://ppalanwar.com & http://www.rmi-nu.or.id

Exit mobile version